Judul: Rijsttafel - Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942
Penulis: Fadly Rahman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, November 2016
Halaman: 150 halaman
ISBN: 9786020336039
Nasi bukanlah menu pokok di meja makan orang Belanda. Tetapi dalam istilah boga Belanda, terdapat rijsttafel. Secara kebahasaan, rijsttafel tersusun atas rijst artinya nasi dan tafel berarti meja. Atau dapat diartikan sebagai 'hidangan nasi'. Orang-orang Belanda menyebut rijsttafel untuk jamuan hidangan Indonesia yang ditata komplet di atas meja makan. (hal.2)
Rijsttafel terdiri atas beberapa bagian, hidangan utama (hoofdschotel) yaitu nasi, hidangan tambahan (bijgerechten) terdiri dari sayur, daging, telur, sambal, acar, sup, bakmi. Dan hidangan pencuci mulut (nagerechten) yang biasanya ada buah, kue, dan es dari lemak susu (roomijs). Tetapi menarik adalah merunut dari mana orang Belanda mengenal hidangan nasi.
Kedatangan orang-orang Belanda di abad ke-19 secara berbondong-bondong telah banyak memengaruhi sosiologis Indonesia. Orang-orang Belanda yang merasa derajatnya lebih tinggi dari pribumi, merasa harus dilayani. Para meneer- mevrouw Belanda memasrahkan urusan makanan kepada wanita Pribumi. Maka keterpengaruhannya adalah keniscayaan.
Pengaruh lebih besar terjadi akibat perkawinan campuran pribumi-Belanda. Mereka mulai mengubah gaya hidup dan kebiasaan asli meskipun diri mereka adalah Belanda totok, misalnya dalam hal makan, tidur menggunakan guling, mandi, hingga kebutuhan seksual. (hal.21)
Rijsttafel dimaknai bukan sekadar hadirnya nasi di meja makan orang Belanda. Tetapi juga soal cara penyajian yang dihidangkan persis seperti aliran kudapan dalam sebuah perjamuan di kerajaan-kerajaan Jawa.
Buku-buku resep itu antara lain buku dengan judul Indische Rijsttafel yang memuat 1381 resep makanan asli pribumi yang terbit tahun 1925 di Batavia. (hal.48) Dalam buku tersebut termaktub aneka pengaruh kuliner Indonesia pada Belanda.
Sebelum Belanda hadir, orang-orang pribumi dikenal sederhana dalam urusan makan. Mereka yang punya kolam ikan biasa memanfaatkan ikan hasil pancingan untuk digoreng, kemudian disantap bersama nasi dan sambal-sambalan. Kemudian setelah puas makan mengisap rokok nipah dari klobot jagung, minum kopi hitam, dan mengunyah sirih. (hal.27)
Bukan hanya perihal jenis makanan, orang-orang pribumi juga sederhana dalam hal peralatan. Mereka tidak mengenal sendok, garpu, pisau daging, atau sendok garam. Pada umumnya rakyat pribumi makan di lantai, mengalasi makanan dengan daun pisang atau piring kayu, menggunakan jari yang sudah dibasuh air agar nasi tidak lengket. Hal ini dikarenakan porsi makanan kala itu hanya untuk sesuapan atau langsung hap.
Hal nyata yang tampak dari proses akulturasi ini ialah kini kita mengenal adanya meja makan untuk menyajikan makanan dalam piring, dengan sendok dan garpu, serta sesekali pisau daging tersaji. Jejak lain yang tampak ialah pengaruh jenis makanan Belanda ke dalam khasanah kuliner kita, ada frikadel (perkedel), smoor (semur), biefstuk (bistik), soep (sup), dan zwartzuur (ayam suwar-suwir) (hal.72).
Proses infiltrasi kuliner ini mampu melahirkan pandangan akan fungsi sosial dari makanan. Makanan bukan sekadar pengganjal perut kosong, tetapi soal sejarah dan kelas sosial penikmat makanan tersebut. Kebiasaan makan tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan dinamika masyarakat.
Proses akulturasi budaya Belanda dan Hindia Belanda di masa penjajahan tidak hanya membuat aneka kuliner kita diterima dan diminati. Tetapi juga menorehkan peran keanekaragaman hayati Indonesia unutk dunia. Fadly Rahman menegaskan, perpaduan unsur Barat dan Pribumi tak hanya melahirkan konsep boda unik dan menarik. Melainkan juga standar ideal sebagai langkah Indonesia untuk menjadikan kuliner sebagai salah satu moda diplomasi (hal.93). n
Peresensi, Teguh Afandi, alumnus Universitas Gadjah Mada.
http://ift.tt/2igIkBt